13.11.12

Proses Berpikir dalam Memotret (MobilePhotography)



Proses mencipta adalah proses berpikir. Apapun bidang anda, anda dituntut untuk berpikir - berkarya dengan meletakan buah pikir anda. Dengar cara demikian anda bercerita lewat karya anda. Masalahnya kebanyakan dari kita dalam menghasilkan sebuah foto, lebih cendrung menggunakan naluir, dibanding proses berpikir.



Think It 
Standup comedy seolah spontan membuat kita tertawa dengan naluri humor mereka. Kenyataanya tidak demikian. Mereka menulis dan mempersiapkan materi mereka dengan matang. Saat mereka kurang persiapan, mereka melawak seolah sedang membaca teks; datar. Saat mereka tidak ada persiapan, mereka melucu tanpa juntrungan, seperti badut.

Sama halnya dengan fotografi. Sekalipun anda sedang photowalk, anda harus memiliki persiapan dan gambaran seperti apa kira-kira foto yang akan anda hasilkan. Perkara anda menemukan kejadian unik di luar perkiraan anda, itu imporvisasi. 

Saat anda mengandalkan naluri, anda hanya mengikuti kebanyakan fotografer. Anda terus mengamati layar handphone sambil berharap menekan tombol shutter di saat yang tepat.

Berbeda dengan proses berpikir. Anda akan memulai memotre satu kali sebagai tembakan umpan. Anda melihat hasilnya di layar kamera, anda evaluasi, menyeting ulang kamera anda, membayangkan momen, pose, dan sudut terbaik, lalu anda mulai memotret lagi. Demikian seterusnya sampai tembakan anda menjadi lebih baik. Walaupun jumlah frame yang dihasilkan sama dengan fotografer 'untung-untungan', tapi anda mendapat proses belajar di dalamnya. Dan saat anda menemukan pristiwa yang sama, tembakan anda menjadi lebih cepat dan lebih bagus. 

Contohnya sewaktu pixout di Indocomtech dengan tema sesi foto model. Saya memotret beberapa kali sebagai tembakan umpan, lalu memperhatikan hasilnya di layar kamera. Saya dapati backlight sangat mengganggu, karena sumber cahaya terlalu rendah dan mengakibatkan area gelap yang mengganggu pada wajah model. Selain itu antara baju dan background terlihat datar. Berbekal evaluasi ini, saya mengaktifkan flash, mengatur white balance pada mode daylight, dan mencari sudut yang lebih kaya warna.


Anda sudah harus bisa membayangkan hasil foto anda sebelum anda menekan tombol shutter. Jika anda tidak punya bayangan akan jadi seperti apa foto anda, artinya anda blind shoot - memotret tanpa juntrungan.


Mulai dari Landscape
Anda baru berkenalan dengan fotografi, dan anda bingung memilih genre yang mana. Maka saya sarankan, mulai dari landscape. Fotografi landscape adalah genre yang paling umum, sederhana, sekaligus genre yang tepat untuk mempelajari teknik-teknik dasar fotografi. Tidak usah bicara street-photography jika anda tidak punya foto landscape yang bagus.


Saat anda mempelajari mengenai komposisi, framing, lighting, akan lebih mudah menerapkannya dalam fotografi landskap. Mudah karena yang anda foto adalah objek tidak bergerak. Anda leluasa mengatur sudut kamera dan memberikan elemen-elemen dasar pada sebuah foto.

Saat mata anda mulai terlatih dengan baik dalam melihat sudut, komposisi, framing, maupun lighting, maka cobalah genre fotografi lain yang menjadi minat anda. 

Saya sering menemukan fotografer jalanan yang tidak memiliki teknik yang bagus, namun berharap menemukan momen yang baik. Saya mau katakan moment yang baik tidak datang dengan sendirinya. Kadang moment tsb harus dilihat oleh orang yang tepat pada waktu yang tepat. Untuk menjadi orang yang tepat di waktu yang tepat, anda perlu memiliki mata yang baik.

Contohnya begini, kita sama-sama melihat pristiwa yang sama di jalan, namun cara bercerita kita berbeda. Fotografer yang belajar dari fotografi landskap punya perspektif yang lebih luas dalam bercerita dibanding fotografer yang hanya fokus pada pristiwa.


Moment Bukan Segalanya...
Fotografi bukan mengenai moment, tapi mengenai proses anda berpikir; eksistensi anda. Menurut saya moment benar-benar menjadi priceless hanya pada dua kondisi, pertama, foto tsb untuk kebutuhan jurnalistik dan ke dua, objek foto memiliki ikatan emosional dengan si fotografer.

Sering sekali seorang fotografer pergi berburu foto di jalanan dengan harapan menemukan moment yang langka, original, dst. Itu keliru. Saat anda di jalanan, setiap pristiwa berulang, walau tidak pada waktu dan tempat yang sama. Street fotografi berbicara mengenai cara anda bercerita mengenai dunia anda. Masalahnya apakah anda seorang 'storyteller' yang baik, atau sekedar pengumpul foto jalanan.


Spontan vs Setting
Buat saya tidak ada foto yang benar-benar spontan. Semua perlu diatur, bahkan fotografi jalanan sekalipun, anda perlu menyeting kamera anda, objek dan latar foto anda. Foto yang menarik adalah foto yang memiliki perspektif yang berbeda dengan pemandangan sehari-hari. Untuk apa saya melihat foto jalanan anda jika itu pemandangan yang sehari-hari saya lihat. Itu sebabnya anda perlu menyetting background, memperhatikan arah cahaya, bahkan memprovokasi objek agar memperoleh 'moment' yang diinginkan. Apakah salah? Tidak. Itu semua yang dibutuhkan untuk membuat cerita lebih baik. Seorang storyteller harus mengerti sudut pandang, intonasi, ritme dan alur cerita, untuk membuat cerita yang dramatis dan enak didengar.

Contoh foto di bawah ini. Arah cahaya, suhu cahaya, frame, dan semua atribut yang bagus sudah ada, hanya tinggal kontak mata. Bagi saya kontak mata adalah elemen terpenting dalam foto street portrait. Maka apa yang saya lakukan? Saya berdehem dengan keras, dia menoleh, 'klik, dan saya berlalu.


Contoh lain foto ini. Saya menemukan background dengan warna yang menarik, yang saya butuhkan adalah objek yang kontras. Saya menunggu hampir satu jam hingga dua perempuan penjual lotek ini lewat. 

Banyak foto jalanan saya yang saya 'atur' momentnya. Entah itu background, bahkan objeknya. Intinya bukan kejadian yang ada dalam foto tsb, tapi bagaimana saya menunjukan jalanan di mata saya. Itu yang ingin saya tampilkan.


Proses berpikir dalam post produksi
Sering kita melihat proses mengedit sebagai topi si pesulap. Kita memasukan saputangan dan berharap sesuatu yang istimewa muncul.

Perlu anda pahami, tidak ada foto jelek yang diedit jadi bagus. Aplikasi editor tidak bisa mengatur komposisi, framing, dan pristiwa. Aplikasi hanya make-up. Krisdayanti yang mati-matian berdandan tidak akan menjadi Sandra Dewi. Jadi pastikan anda punya foto yang bagus sebelum mengedit.

Sama seperti make-up, editing adalah proses penekanan pada bobot 'cerita'. Anda menggunakan filter pada foto anda untuk membuat cerita lebih dramatis. Tapi efek dramatis harus digunakan secara logis. 

Saya sering jumpai foto-foto HDR atau noir yang diedit tidak logis. Memang benar untuk menekankan sebuah POI foto, objek ditonjolkan dengan lebih terang/cerah, tapi perlu diingat bahwa objek (selain benda berpendar) tidak terang dengan sendirinya. Perhatikan dari mana datangnya cahaya dan jarak POI dengan kamera. Semakin dekat dengan sumber cahaya maka akan semakin cerah, semakin jauh dari kamera maka akan semakin gelap. Perhatikan juga permukaan benda, apakah permukaan tsb lebih menyerap cahaya atau memantulkannya.


Dan Pikirkan Sekali Lagi...
Selalu debat foto anda melebihi kritikus. Anda harus punya alasan untuk setiap hal dalam foto anda. Demikian anda menunjukan eksistensi anda lewat karya anda. Kita berpikir maka kita ada.

0 komentar:

Posting Komentar