19.5.14

Pameran dan Workshop: Street Photography Dengan Ponsel

Dalam rangka peluncuran buku "Street Photography dengan Ponsel" karya Paul Zacharia, juga diadakan pameran serta workshop Street Fotografi oleh fotografer senior Rendy Siregar dan Paul Zacharia. Workshop yang bertempat di Galeri Foto Antara ini dimulai tepat pukul 15.00 hari Minggu lalu (18 Mei 2014).



Acara ini dimulai dengan latarbelakang penyusunan buku Paul Zacharia. "Yang medorong terbitnya buku ini adalah protes dari setigma keharusan menggunakan kamera yang mahal dan lokasi memotret yang bagus untuk menghasilkan foto yang bagus. Bahkan ada workshop fotografi di mana kita membayar mahal untuk sebuah tempat yang bagus atau model yang cantik dan kita tinggal memotret", ujar Lukas Zacharia membuka workshop sore itu. "Tidak jarang sampai ukuran lensa, setting dan sudut memotret pun sudah ditentukan. Dengan cara seperti itu peserta workshop pulang pasti membawa foto yang bagus. Sayangnya bukan demikian esensi dari fotografi", sambung pria asal kota Malang ini.

Dia mengisahkan pengalamannya di Amerika bersama IPA (International Photographers Association), saat peserta diberikan dua roll film dan memotret di gudang yang notabene jauh dari lokasi yang fotogenik. Peserta diberikan kesempatan selama 2jam untuk menghabiskan dua roll film dan hasilnya akan dinilai. "seharusnya seperti ini esensi fotografi, mengenai proses berpikir kreatif dalam menangkan moment dan gambar dimanapun kita berada", ujar Paul.

Paul mengambil street fotografi dalam tema bukunya karena untuk menghasilkan foto bagus kita tidak harus pergi ke tempat yang jauh dan bagus, namun dapat di mana saja, dan tentu saja murah. Selain itu karena ketertarikan beliau sendiri mengenai street fotografi. 

"Saat ini kita cendrung melihat gambar fektoral di katalog yang cendrung seimbang, bersih, dan itu yang akhirnya kita tiru dan jadi foto sangat monoton. Saya sendiri berasal dari foto salon dan itu yang saya lakukan bertahun-tahun dan akhirnya sangat bosan.

"Street fotografi berbicara mengenai pesona tanpa harus dimaknai. Street fotografi menarik karena ada multi interpretasi di dalamnya. Si fotografer juga tidak dibebani dengan tanggung jawab untuk melaporkan fotonya seperti fotografi jurnalistik dalam mencari berita. Walaupun demikian ada pakem-pakem di dalamnya, seperti rasa, juxtapose, unposed, dsb".

Dalam workshop ini pun, Paul sempat menyinggung beberapa karya dari para street fotografer dunia, seperti Alex Webb yang sangat dihormatinya. Alex Webb memang dikenal dengan street fotografi yang kaya dalam bermain warna. Selain Webb, ada juga beberapa karya dari Pinkhassov. Pinkhassov sendiri pernah ke Indonesia dan hunting bersama beberapa fotografer Indonesia, salah-satunya dengan Rendy Siregar.

Dalam diskusi ini juga dibahas mengenai kendala dalam street fotografi, seperti perangkap paradigma fotografi klasik di mana POI harus tunggal dan garis horizon harus lurus dan bersih.

Dalam hal yang senada, Rendy Siregar menambahkan ketidaksetujuannya terhadap kompetisi semacam photo of the month. "saat adanya pemenang photo of the month, orang akan menjadikannya sebagai contoh foto yang bagus dalam kepala mereka dan ini yang akhirnya menjadi border (batasan) dalam karya mereka. Padahal berbicara mengenai rasa itu berbeda-beda tiap orang", ungkap Rendy.

Yang menarik saat sesi tanya jawab dibuka, salah-seorang peserta menanyakan pendapat Paul soal kamera Smartphone, dan begini pandangannya terhadap kamera smartphone,

"Saat ini kamera smartphone sudah sangat canggih, dan saya hampir tidak memerlukan kamera DSLR lagi. Beberapa tahun yang lalu setiap ada kamera DSLR yang baru saya selalu berpikir bagaimana mengganti kamera lama saya dengan yang terbaru, tapi mungkin kamera DSLR saya yang sekarang adalah kamera terakhir saya. 

"Satu-satunya keterbatasan kamera smartphone saat ini adalah cakupan lensanya. Namun untuk sebagian besar keperluan memotret sudah sangat terpenuhi dengan kamera smartphone. Memotret dengan kamera DSLR kita mungkin dapat melakukan kesalahan exposure, namun dengan kamera Smartphone saya hampir jarang sekali menemukan kesalahan exposure, dan ini membuat energi saya yang sebelumnya terkuras untuk memikirkan equipment, dapat digunakan sepenuhnya untuk berkonsentrasi memotret".

Efendi Siregar pun melontarkan pendapat yang kurang lebih sama, bahwa dia hanya menggunakan kamera DSLR jika motret manten, alias job wedding. Selebihnya beliau menggunakan kamera mirror less nya, bahkan untuk pemotretan foto repro. Bentuk yang ringan, kecil namun menghasilkan gambar dengan warna yang bagus serta detil yang menjadi alasan Rendy dalam memilih menggunakan mirror less.

Mungkin memang benar sebentar lagi era kamera DSLR akan tergantikan dengan kamera mirror less, dan era kamera saku akan tergantikan dengan kamera smartphone.

Workshop dan diskusi yang berlangsung selama 2 jam ini ditutup dengan foto bersama. Hadir juga fotografer senior seperti Oscar Motuloh, Erik Prasetya, juga perwakilan dari beberapa komunitas seperti RKF (Rumah Kayu Fotografi), IOS (Indonesia on Street), dan komunitas Fotodroids. Pameran foto ini sendiri berlangsung dari tanggal 17 - 19 Mei 2014 di Galeri Foto Antara.

0 komentar:

Posting Komentar